Senin, 14 Juni 2010

2010, Sumedang (Hampir) Bangkrut

Oleh : Zenni Muryaman*

Bila kita umpamakan sebuah kapal laut, Pemkab Sumedang menghadapi masalah yang sangat luar biasa, selain ombak menggulung deras dan menerpa badan kapal, penumpangpun resah dengan segala macam keresahannya. Perumpaan ini bisa jadi masih kurang ekstrim bila kita melihat kondisi reel sebenarnya.


Untuk membuktikan ini, mari kita tengok Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Plafond dan Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) 2010 yang sedang digodok, tidak tanggung-tanggung, defisit melampaui angka 90 Milyar!! angka yang sebelumnya belum pernah terjadi sepanjang sejarah sumedang berdiri. Memang, setiap KUA-PPAS keluar setiap tahunnya selalu terjadi Defsiit, namun defisit tersebut bisa ditutupi dengan Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran Sebelumnya (Silpa) atau sedikti menurunkan Pos Belanja Langsung (Publik).

Namun sekarang, prakiraan pendapatan tahun 2010 yang mencapai 963,3 Milyar hanya untuk membayar Belanja Tidak Langsung (Gaji, bunga, Bansos, Bantuan kepada Desa, Belanja bagi hasil dan Pos Belanja tak terduga) terasa berat, Hasil dari itu menyisakan uang sebesar 195,2 Milyar (Belanja Tidak Lasung sebesar 767,8 Milyar). Lalu beban tetap lainnya seperti kegiatan yang bersumber dari Dana Alokasi Khsusus (DAK) yang tidak boleh di ‘coceng’ sedikitpun sebesar 66, M, Hasil retribusi RSUD yang juga WAJIB dikembalikan kepada RSUD sebesar 58 Milyar. Nah, dikurangi dua belanja tersebut Pendapatan diatas bersisa 71 Milyar. Selesaikah beban Belanja tetap kita? Belum. Kita juga masih harus (Wajib) menyiapkan dana untuk Bayar Pokok Hutang sebesar 6,2 Milyar, Pendamping DAK dan Biaya Penunjang/Pendamping dari Pusat/Provinsi 12 M. Dari dua itu, sisa pendapatan hanya 7,1 M.

Kabar PIK

Lalu, dimana letak Belanja Kegiatan untuk SKPD/SOPD, yang didalamnya ada Pagu Indikatif Kewilayahan/Kecamatan (PIK), yang berdarah-darah dirundingkan dari perencanaan di level paling rendah (Dusun, Desa, Kecamatan, Forum SKPD, dan Musrenbang Kabupaten), yang dianggap hasil dari sebuah perencanaan yang paling baik di Indonesia, yang memberikan ruang kepada warga untuk merundingkan kegiatan untuk dirinya sendiri dengan disiapkan potensi pendapatan ‘yang pasti’ dari pemkab. Jawabnya ‘Nyaris Tak Terlihat !!”. Belanja untuk ini (Belanja Langsung) pada tahun 2009 ini disiapkan sebesar 286 Milyar, sedangkan tahun depan (2010) hanya 65,9 M setelah dikurangi dari DAK dan RSUD. Turun 129 % dari tahun 2010. Dari dana tersebut (65,9 M) harus bisa “sacukup-cukupna” untuk membiayai Belanja Kegiatan dan Program (Dulu, Administrasi umum) dan Belanja Urusan Wajib dan Pilihan di Setiap Dinas, Badan, Kantor dan lembaga lainnya. Di belanja Urusan Wajib/Pilihan ini ada PIK sebesar 31,75 M. Nah, dari angka itu pernyataan saya tentang PIK saya ralat menjadi ‘PIK sudah tenggelam’ bukan ‘Nyaris tak Terlihat’ lagi.

Saya sebagai fasilitator musrenbang dari berbagai tingkatan, sepertinya perlu berpikir ulang untuk menjadi fasilitator kembali pada tahun 2010 nanti. Karena terbayang cercaan dan makina dari peserta. Apalah gunanya proses musrenbang di tata dengan baik, bila kita kembali ‘berbohong’ kepada rakyat dengan tidak jelas PAGU yang dirundingkan. Bukan kah ini yang menjadi istimewa musrenbang di sumedang? Bila tidak ada lagi kejelesan pagu dalam musrenbang, Sumedang mundur dua hingga 3 langkah ke belakang. Sistem perencanaan yang selalu dibanggakan dan dijadikan ‘pangjugjugan’ beberapa kabupaten/kota hanya tinggal kenangan. Ok, bahwa ini hanya pagu indikatif, tetapi bila melencengnya terlalu ektrim, bukan kah itu bisa disebut perencanaan yang dangkal/buruk, Prediksi/Indikasi yang baik adalah predisik/indikasi yang bisa lebih dekat dengan kenyataan. Kesimpulannya, Pertahankan PIK. Karena dengan PIK, sumedang bisa bangga di tengah defisit melanda. Lebih jauh Pemkab masih punya harga diri ketika nanti berhadapan kembali dengan warga.

Penyebab

Ada kemiripan antara Don Murdono (DM) dengan SBY, sama-sama sudah dua kali memimpin, dan sama-sama tidak punya kesempatan lagi untuk memimpin ketiga kalinya. Dengan kondisi ini DM, tidak perlu lagi pencitraan, nama baik, dan ngotot untuk selalu tampil di depan umum, bahkan untuk memperhatikan partainya sendiri, dengan membuat Kantor PDIP yang representative saja contohnya setelah 6 tahun lebih belum juga terwujud. Kantor DPC PDIP di sekitar gunung puyuh terlihat kumuh tak terurus, tak tampak ada kegiatan sebuah partai terbesar di sumedang dengan 13 Kursi ini. DM dengan sikap selalu menahan diri, tidak meledak-ledak, kritikan di lawan dengan senyum (Kritik dilawan dengan kritik, data di lawan dengan data, tidak berlaku bagi DM), siapapun yang pernah bertatap muka (berkomunikasi) dengan DM pasti menyimpulkan bahwa DM ramah, begitu juga dengan penilaian penulis. Kelebihan DM lainnya sangat akomodatif, ide-ide bawahan yang dapat diterangkan secara sederhana sekalipun akan di apresiasi secara baik, walau kadang Akomadatifnya berlebihan.

Namun tidak cukup dengan ramah dan menebarkan senyum. DM banyak dianggap pemimpin yang tidak ber-Visioner kuat, dan bukan ‘Strong Leadership”. Bila anda berharap keluar dari mulut DM kebijakan yang radikal dan progresif (contoh Bupati Jembrana dengan peningkatan layanan Publiknya, Bupati Sragen dengan Layanan Satu pintunya, Walikota Solo dengen penanganan PKL-nya) sepertinya sulit berharap. DM lebih senang bermain aman, terlebih di periode keduanya, yang dominan tentu saja orang-orang di sekelilingnya, baik itu dari lingkaran Birokrasi, orang dekat (atau yang ‘merasa’ dekat), saudaranya, hingga jaringan partainya. Dengan sikap akomodatif berlebihan, ditambah dengan dengan percaya saja dengan apa yang dilaporkan, maka ketika menghadapi defisit ini tidak terlihat disikapi secara serius, setidaknya dengan beberapa statement untuk menjelaskan kepada warga lewat Pers tidak hanya di gedung DPRD saja. Penulis tidak yakin DM sadar dengan Kondisi keuangan 2010 yang sudah di ujung jurang.

Dengan akomodatif yang berlebihan ini, maka struktur Organisasi perangkat daerah (OPD) dibiarkan gemuk dan banyak tak berfungsi, Sukwan siluman dibiarkan bergetayangan, banyak orang tidak jelas keperluan dan kepentingannya bebas berkeliaran di sekelilingnya, kedisiplinan pegawai sangat rendah (bahkan penegakan pun rendah).

Solusi

Ada banyak cara untuk menghindar setidaknya mengurangi defisit ini, tentu saja tidak bisa dengan cara-cara konpensional, dengan ditutupi oleh Silpa dan pengurangan belanja langsung, karena bila ini saja yang dilakukan, tahun-tahun ke depan kesulitan ini akan berulang, bahkan mungkin lebih parah. Perlu ada kebijakan radikal, berani. Justru dengan tidak butuh pencitraan lagi, DM harus berani mengeluarkan kebijakan Radikal itu. Apa saja?

Reformasi Birokrasi

Pertama, Rubah struktur SOPD yang ada, Dinas, Badan, dan Kantor yang tidak efesien yang bisa diurus oleh sebuah Kasubid/Kasubag dilebur saja. Contoh Dinas SOPD yang tidak efektip (dapat diartikan, ada atau tidak ada sama saja) adalah Kantor Arsip dan Kantor Perpustakaan gabung dengan Setda, Dinas Pertambangan gabung dengan Badan Lingkungan Hidup, Badan Penyuluh dan Dinas Peternakan/Perikanan gabung dengan Dinas Pertanian, Dinas Pemberdayaan Perempuan gabung dengan dengan Dinas KB dan Kependudukan, Badan Penanaman Modal gabung dengan Dinas Perdagangan dan Industri. Kesimpulannya, SOPD cukup yang dapat merangkum, rumpun Pertanian/Kehutanan, Kesehatan, Pendidikan, dan Pelayanan Kependudukann/Administrasi.

Kedua, Kaji secara benar, kebutuhan Birokrasi sebenarnya, berapa yang efektip dan tidak, Siapkan Job Tender/Kontrak kerja. Yang tidak efesien keluarkan saja, beri pesangon yang layak. Dengan Kontrak kerja/Job Desk setiap orang Jelas melakukan apa dan menghasilkan apa, Kerja dari day to day, week to week, month to month, hingga akhir tahun disusun secara benar dan terukur. Contoh buruk di bidang ini adalah tidak meratanya guru di pelosok-pelosok, padahal dari itung-itungan guru sudah berlebih. Contoh Guru Sekolah Dasar (SD) PNS sekarang ada sekitar 7.000-an dengan jumlah SD 605 maka setiap SD sudah memiliki rata-rata 11,5 guru. Idealnya setiap SD memiliki 1 Kepsek, 6 Guru kelas, masing-masing 1 guru untuk Guru Agama dan Olahraga, sehingga jumlah ideal 9 orang guru/SD. Belum ditambah 4 orang sukwan, hasil dari pembagi 2.814 orang sukwan guru dibagi 605 orang (Korsum Edisi 128 Minngu III 2009). Tentang kebutuhan Kompetensi, sekolahkan birokrasi yang ada, kebutuhan kompetensi tidak harus dijawab dengan meminta tambahan pegawai. Bila perlu Stop dulu penerimaan CPNS menunggu hasil kajian kebutuhan Birokrasi oleh pihak independen.

Ketiga, Pecat tenaga siluman, tenaga kerja yang memakai baju CV dengan tidak jelas Peraturan yang mengangkatnya, yang hanya memberatkan keuangan pemkab (karena pada dasarnya walau tidak dianggarkan tetap memberatkan) keluarkan saja, terlebih dengan harapan kosong justru menambah penderitaan bagi mereka. SOPD yang bandel dengan mengangkat tenaga sukwan (yang konon harus memakai uang 5 hingga 10 juta per orang) tindak dengan tegas. Bila mau, sangat mudah untuk melihat mana SOPD yang bandel atau tidak. Anda bisa lihat di Kantor Arsip, kantor kecil dengan minim aktifitas harus dijejali dengan beberapa sukwan baru yang selalu muncul.

Keempat, Jual Asset, Pemkab Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu melelang kantor setda, sebuah pasar, dan eks pasar Cilembang untuk menutupi defisitnya (Harian Umum Priangan edisi Selasa 20 Oktober). Tidak dengan terburu-buru meminjam atau mendahulukan gaji pegawainya (Kab. Serang menunda gaji Desember 2009 ke Januari 2010). Defisit kali inipun bisa dikurangi dengan menjual asset yang ada, tentu saja asset yang sudah tidak berfungsi. Sekedar melihat contoh, ada Pasar tolengas, terminal Rancapurut dan beberapa kantor kosong lainnya.

Kelima, Kaji ulang struktur KUA APBD 2010, masih ada banyak peluang pengurangan anggaran yang tidak efektip. Seperti, Accres (penambahan nilai toleransi dari total gaji) gaji pegawai yang sebesar 2,5 %, cukup kita kasih 1% saja, Dana tak terduga yang tadinya 1,5 M, cukuplah 500 juta, Tunjangan Penghasilan PNS sebesar 27 M (karena sudah ada gaji yang naik 5% dan Honor), hilangkan saja. Program SKPD (Untuk membiayai Adminstrasi Umum), potong 40 %. Silpa 2009, mungkin bisa dinaikkan menjadi sekitar 16 M (karena ini nilai rata-rata silpa setiap tahunnya). Dengan ini saja sudah terkumpul 74 Milyar, belum lagi bila beberapa sector pendapatan bisa di genjot kembali, dengan cara mengurangi kebocoran. (lihat Tabel).

(*Zenni Muryaman, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Lokal (P3ML)/ Pegiat Perencanaan dan Penganggaran/ Anggota FDM)


Sumber :
http://koransumedang.com/2009/10/2010-sumedang-hampir-bangkrut/
15 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar